Jumat, 02 Maret 2012

Ujian Praktek 9a

Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian Ujian UJian Ujian

Cerpen Pendidikan


MENDULANG HARTA

            Hari panas terik. Sang surya bersinar dengan ganasnya. Membuat ubun-ubun terasa mendidih. Aris mempercepat langkah menuju rumahnya. Akhirnya sampai juga. Dia duduk melepas lelah sambil membuka sepatunya.
‘’Huh, lega rasanya,’’ ia menghela napas dan beranjak masuk ke dalam. Baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah, ia menemukan uang berserakan di lantai.

‘’Hah, uang apa pula ini Mak,’’ katanya heran. Tentu saja dia heran. Di zaman serba sulit ini uang dibiarkan berserakan di lantai begitu saja. ‘’Untung aku bukan maling yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah,’’ pikirnya nakal.

“Uang punya Mak. Berikan sama Mak. Bapak mau keluar,’’ sahut bapak.
‘’Hmm, Mak sudah punya uang sekarang. Jadi, aku bisa minta uang untuk membayar uang les dan LKS,’’ pikirnya.
‘’Maaak, Oo Maaak,’’ panggil Aris.


‘’Ada apa Ris. Ganggu orang saja kamu ini,’’ kata maknya jengkel.

            Lalu Aris menyerahkan uang tersebut pada maknya. Ia menjelaskan bahwa uang les dan LKS-nya belum dibayar. Sedang pihak sekolah sudah beberapa kali menagihnya. Tapi bukannya diberi uang, dia malah dimarahi oleh maknya.
‘’Saya heran dengan sekolah kamu itu. Banyak sekali tetek bengek yang harus dibayar. Kan ada dana BOS. Untuk apa dana BOS itu? Sudahlah, tidak usah kamu sekolah. Buang-buang uang saja. Sekarang karet itu tidak berharga, tahu?’’ Katanya dengan muka merah menyala.

            Aris sudah menjelaskan bahwa dana BOS itu tidak mencukupi, karena sekolahnya hanya sekolah swasta dan banyak memakai tenaga honor. Tapi maknya tidak mau tahu dengan semua itu. Dia malah menyuruh Aris cari uang sendiri. Kemanakah uang kan dicarinya? Ah, Emak tak mengertilah dengan pendidikan. Padahal pendidikan itu sangat penting. Dengan pendidikan kita akan bisa menatap masa depan yang gemilang.
‘’Buat apa kamu sekolah? Lihat itu hah, banyak yang sekolah tinggi, tapi akhirnya cuma jadi pengangguran, kan? Jadi buat apa sekolah?’’ tambah maknya lagi.

            Aris lebih memilih diam dari pada menjawab omongan maknya. Ia menyayangkan kenapa maknya mempunyai pola pikir yang terbelakang seperti itu? Sekarang orang berlomba-lomba mencari ilmu, tapi mak malah melarangnya.
‘’Mak... mak, mengapa Emak lebih suka mengumpulkan uang, beli emas, dan membanggakan diri pada orang lain dari pada menyekolahkan kami anak-anak mak. Itu akan lebih bermanfaat,’’ gumamnya dalam hati.
Aris sudah lelah mendengarkan omelan emaknya itu. Dia keluar dan pergi entah ke mana.

            Sedangkan si Lina, adiknya baru saja pulang dari sekolah SMP yang tidak jauh dari rumahnya. Setibanya di rumah, mak menyuruhnya mandi dan berpakaian yang bagus. Tidak biasanya mak seperti ini. Ternyata si Lina akan dilamar oleh Pak Anto duda kaya yang tinggal di desa sebelah. Tentu saja Lina menolak dengan keras semua itu. Namun, mak tetap bersikeras dengan kemauannya. Ia sama sekali tidak memikirkan bahwa anaknya itu di bawah umur untuk menikah. Apalagi akan dinikahkan dengan seorang duda. Ah, benar-benar tidak masuk akal.

            Emak sudah terpengaruh oleh harta. Mak bilang, ia iri pada teman-teman arisannya yang kaya dan hidup mewah. Sedangkan mak tidak punya apa-apa. Mak ingin menabung untuk menggapai semua itu. Kalian tidak usah sekolah. Hanya menambah beban saja.

            Hari-hari berikutnya, Aris tak lagi bersekolah. Ia berhenti dan bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah. Sebenarnya hati kecilnya selalu sedih tiap kali melihat teman-temannya bersekolah. Tapi apa mau dikata, mak sudah tidak mau lagi menyekolahkannya.

            Setiap kali ia ikut teman-temannya dan tampaknya ia juga mulai terpengaruh oleh teman-teman baru itu. Sedangkan mak sudah tidak peduli lagi dengannya. Ia sibuk mengumpulkan harta, apalagi sekarang ia telah punya menantu kaya.
Waktu terus berjalan. Aris semakin terjerumus dalam kehidupan yang tidak memiliki masa depan. Ia telah berubah. Hingga suatu hari dengan tergopoh-gopoh, Enda temannya Aris datang dan memberitahukan pada Emak kalau Aris ditangkap polisi tadi malam. Tapi sekarang ia dirawat di rumah sakit. Overdosis katanya. Habis pesta sabu-sabu.
Bagai guntur di siang bolong, Emak dan bapak kaget bukan kepalang. Tapi apa mau dikata. Itu salah mereka, mereka yang menginginkan anaknya seperti itu. Mak menangis-nangis menyesali perbuatan dan siapnya yang tak mau menyekolahkan anaknya itu.

            ‘’Sudahlah Nur, mudah-mudahan Aris lekas sembuh dan kita bisa kumpul lagi seperti dulu. Akan kita bina keluarga kita. Biarlah kita hidup sederhana, asalkan hati dan keluarga kita bahagia,’’ kata Bapak dengan mata berkaca-kaca, ia berusaha menenangkan hati mak.

‘’Bapak benar, kini mari kita bina dan songsong keluarga sakinah,’’ kata mak mantap.

By : Nurhalizazein

Kamis, 26 Januari 2012

Cerpen Tentang Hewan

BILA KANCIL HIDUP DI TAHUN 2012

Pada suatu hari hiduplah kawanan binatang , dan mereka hidup di sebuah hutan yang akan di tebang dan akanKancil dan kawan-kawan-hidup di tahun 2012 dijadikan sebuah kawasan perumahan. Berita tentang penebangan hutan itu memang membuat semua hewan yang ada di hutan itu cemas dan was-was. Mereka semua berkumpul untuk membicarakan hal itu.

            Singa sang raja hutan pun berpikir terlalu berlebihan hinga tiga hari tidak tidur. Namun akhirnya raja hutan itu mendapat sebuah ide, maka di kumpulkannya lagi semua warga hutan itu. Dengan sombongnya singa itu berkata, “jika manusia datang aku akan menyerangnya dan tak akan membiarkan mereka keluar dari hutan ini hidup-hidup”. Semua hewan yang ada bersorak, mereka berpikir hutan akan aman karena ada sang raja yang melindunginya.
           
            Namun kancil tidak berpikir demikian, kancil tahu bahwa manusia datang membawa banyak peralatan yang canggih dan berbahaya. Singa itu juga menenangkan hati rakyatnya yang tengah gundah dan ketakutan. Belum habis singa itu memberi tahu ide-idenya yang tak masuk akal, kancil segera pulang dan mencari teman-temannya.
            Teman yang pertama kancil cari adalah buaya, dengan terengah-engah kancil menemui buaya yang terlihat sedang berendam di hulu sungai. Kancil langsung berteriak kepada buaya,”hai buaya, ikutlah dengan ku”. Buaya yang sedang bersantai itu langsung bergerak mendekati kancil dan bertanya, “ada apa kamu mencari aku?” Kancil itu menjawab,”kita harus menghentikan penebangan hutan ini.” Buaya tertawa melihat perkataan kancil.

            Kancil langsung menjelaskan apa yang terjadi dan buaya terkejut mendengar itu. Segera buaya keluar dari danau dan pergi mencari sahabat lamanya, Anjing pak tani atau biasa mereka memanggilnya Dogi. Kebetulan Pak Tani sedang pergi ke kota untuk membeli pupuk. Jadi Dogi sendiri di rumah.

            Kancil dan buaya bergantian menjelaskan apa yang akan terjadi. Dan Dogi terkejut akan hal itu. Mereka berunding dan ketiga hewan itu terlihat sangat serius. Dan hingga kancil mendapat sebuah ide. “bagaimana jika kita pergi ke kota dan mencari manusia yang cinta lingkungan?” Buaya dan Dogi setuju akan hal itu. Mereka segera keluar dari hutan dan mencari jalan yang aman, karena biasanya ada pemburu yang bisa membuat nyawa melayang.

            Dan ternyata hal itu benar, mereka bertiga melihat dua orang pemburu mengendap-endap dan bersiap menembak seekor rusa yang sedan makan di padang rumptut. “ kawan-kawan, bagaimana jika kita kagetkan para pemburu itu? Ujar Dogi. Kancil dan buaya setuju. Mereka pun menggunakan strategi lama,

            Dogi menjenggong sekeras mungkin, dan hal itu menarik perhatian pemburu itu. Para pemburu menghampiri dogi dan kancil segera berlari menuju pemburu itu dan menendang kedua pemburu itu. Para pemburu itu lantas jatuh tersungkur. Segera Dogi mengambil senjata milik pemburu. Setelah itu buaya dengan gagahnya menghampiri para pemburu dan membuka mulutnya besar-besar seakan akan ingin memakan para pemburu itu.

            Para pemburu itu lantas bangun dan berlari ketakutan, kancil dan kawan kawan lantas tertawa terpingkal-pingkal. Mereka langsung melanjutkan perjalannya. Jalan pintas menuju kota hanya bisa di lewati dengan cara menyebrangi sebuah rawa. Kancil menghentikan langkahnya.

“kenapa kamu kancil?” buaya bertanya, kancil terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Buaya. “hai kancil, kamu kenapa?” kini dogi ikut bertanya. “aku tidak bisa berenang.” Jawab kancil. Buaya yang sudah berada di dalam rawa menyuruh kancil berdiri di atas punggungnya. Dan mereka bisa menyebrangi rawa itu bersama-sama.

            Dan akhirnrya mereka sampai di ujung rawa yang berbatasan langsung dengan kota. Kebetulan ada sekumpulan para pecinta lingkungan yang menanam ratusan pohon di dekat rawa itu. Para pecinta alam itu lari berhamburan menjahui tepi rawa itu setelah melihat kancil dan kawan-kawan keluar dari rawa.

            Kancil bergegas mengejar para pecinta lingkungan itu namun tak bisa, pecinta lingkungan itu pergi menggunakan mobil. Kancil kembali ke tepi rawa itu dengan wajah kecewa. Saat mereka berkumpul terdengar kabar jika besok adalah hari yang ditunggu-tunggu karena pemukiman itu mulai di kerjakan.

            Setelah mendengar hal itu kancil dan kawan-kawan langsung kembali mencari para pecinta lingkungan yang lain. Namun bukannya para pecinta lingkungan yang di dapat, malah wajah ketakutan dari warga. Karena ada buaya yang berjalan di kota. Para petugas berdatangan. Namun buaya yang tak biasa dengan lingkungan yang ramai itu menjadi marah dan mulai menyerang para pertugas.

            Dan di saat itu ada truk-truk besar yang mengangkut alat-alat untuk menebang hutan. Dogi lantas mengejar truk itu sambil mengongong. Sementara itu, kancil masih berupaya menenangkan buaya. Saat buaya sudah tenang, mereka berdua lantas ikut mengejar truk itu.

            Para petugas itu heran melihat tingkah binatang-binatang yang sangat aneh. Petugas itu juga ikut mengejar binatang-binatang yang bertingkah aneh itu. Dan kini mereka semua telah berada di hutan para penebang hutan itu segera memasang peralatan mereka. Dan hal itu membuat para penghuni hutan ketakutan dan meminta raja hutan melindungi hutan.

            Namun raja hutan yang tak lain adalah singa itu tak bisa bicara apa-apa, rakyatnya terus mendesak singa, sehingga singa kabur dan pergi begitu saja.

Petugas akhirnya mengerti maksud perginya binatang-binatang itu lari dari hutan. Dan pera pertugas memberi peringatan kepada para penebang, para penebang itu segera pergi dari hutan dan menyimpan amarah kepada hewan itu. Seorang penebang melemparkan sebuah pisau dari atas truknya dan tepat mengenai kancil.

            Tubuh kancil langsung roboh dan mengeluarkan banyak darah. Petugas yang ada segera membawa kancil ke rumah sakit hewan terdekat dan juga menangkap penebang yang melempar pisau itu. Buaya dan dogi tak bisa berbuat apa-apa. Dengan tertunduk lemas mereka kembali ke hutan. Di saat semua warga hutan berpesta karena hutan tak jadi di tebang, buaya dan dogi menangis. Buaya lantas memberitahukan kepada warga hutan apa yang sebenarnya terjadi. Pesta itu menjadi sunyi. Di rumah sakit hewan.

            Kancil di rawat dan mendapatkan beberapa jahitan. Dokterjuga menyatakan jika terlambat sedikit saja, kancil tak bisa di tolong. Kancil berhasil di selamatkan dan di perbolehkan kembali ke hutan. Para petugas mengantarkan kancil kehutan dan kancil mendapati tempat tinggalnya sepi dan sunyi. Kancil mulai masuk kedalam hutan, yang terdengar hanya langkah kecilnya.

Dan ketika dia sampai di dalam hutan pesta kejutan dari warga hutan itu mengejutkan kancil, dan semua yang ada berterima kasih kepada kancil atas jerih lelahnya.

Hutan itu menjadi tenang dan tentram kembali...


^.^ Nurhaliza Zein/19 9a.

Cerpen Islami

PINTU MASJID

              Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Ada yang sujud di dalamnya penuh harap, doa dan linangan air mata. Hening . sepertinya ada yang lagi mengadu, ada yang lagi curhat. Tapi siapa. Pintu masjid itu indah untuk dilihat siapa saja. Ukiran-ukiran yang menghiasinya tampak sederhana tapi tetap indah. Dan di pintu masjid itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku sendiri tidak mengenalinya. Tubuhku gemetar hebat. Gemetar yang aku sendiri sulit untuk mengartikannya. Rasa takut juga bimbang. Entahlah sepertinya ada detak jantung yang menyesali pertemuan itu. Pertemuan dengan laki-laki itu. Laki-laki di pintu masjid. Itulah laki-laki yang sering ku lihat di pintu masjid.


            Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan. Begitu juga aku. Aku sering mencari ketenangan di sana. Tapi ketika kunjuangan ku waktu itu, ketenangan yang aku harapkan semuanya barcampur dengan rasa bimbang, menjadi serba salah, sepertinya ketenangan yang aku harapkan memudar setelah melihat laki-laki di pintu masjid itu.

***
“Panggil saja saya ayah, jangan sungkan-sungkan”. Suruh ustaz syarifuddin.
“tapi pantaskah saya memanggil dengan nama itu?”.
“kenapa tidak, bukankah saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri”.
“mungkin butuh waktu pak, untuk memanggil dengan sebutan ayah”.
“sekiranya kamu sudah bersedia memanggil saya dengan sebutan ayah, jangan sungkan-sungkan ya, saya sangat senang, punya anak sebaik kamu”.

              Senyum itu teduh. Senyum layaknya seorang ayah pada anaknya. Begitulah yang aku rasakan. Senyum itu memberikan aku semangat untuk melangkah. Andai dia tahu kalau aku ingin sekali untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Memintanya menjadi ayahku. Tapi lidah ini terasa kaku ketika kata ayah itu ku ucapkan dihadapannya. Sering aku membayangkan ketika aku ada dihadapanya dan aku dengan kencang memanggilnya ayah. Pernah sekali, ketika di halaman belakang rumah, di kebun tepatnya, ustaz syarifuddin sedang membersih kebun. Mencabut rumput-rumput liar.

              Menyirami sayurnya. Niat hati ingin memberitahukan padanya jika aku sudah bersedia memanggilnya ayah. Aku membayangkan ekspresi wajahnya pasti tampak bahagia. Aku menghampirinya. Di hadapannya. Mulutku teramat sulit untuk memanggilnya ayah, masih memanggilnya dengan sebutan pak. Lidahku lagi-lagi kaku. Itu terjadi karena di kebun itu ada bu siti, istrinya ustaz syarifuddin. Aku takut jika ucapanku ini bisa mengundang rasa tak sedap di hati bu siti. Cukuplah sudah selama ini aku memberikan mereka beban untuk merawatku. Mereka menyadari kedatanganku. Mereka menyapaku terlebih dulu. Aku tersipu malu. Sebenarnya bu siti orangnya baik, ramah penuh kasih sayang. Senyumnya teduh. Layaknya seorang ibu pada anaknya.

              Angin melintas di kebun itu. Melayang-layang. Membuat daun-daun kecoklatan gugur dari pohon. Musim panas. Ranting-ranting melambai. Sayur tampak menghijau, segar. Kangkung. Bayam dan kacang panjang. Juga ada sayur-sayur yang lain, yang aku sendiri tidak tahu apa nama sayur itu. Tangan mereka penuh dengan kasih sayang, hingga menyulap halaman belakang rumah menjadi perkarangan hijau yang di penuhi dengan sayur dan buah-buahan segar. Mereka pintar berkebun. Biasanya hasil penen mereka jual sendiri di warung mereka.

“beginilah jika tangan kita ramah dengan tanah, kita bisa membuat halaman belakang ini menjadi kebun menghijau”. Ucap bu siti dengan lembut.

              Ustaz syarifuddin kini menampungku. Bu siti dan ana juga menyambutku dengan ramah dalam keluarga mereka itu. Mereka mencoba membangkitkan aku dari mimpi buruk ini. Mimpi yang selalu membuat langkahku kaku, melemah dan roboh. Saat ragaku tak mampu mengharungi hidup, keluarga merekalah yang memapah jiwaku, memberikan aku semngat. Hidupku ku lanjutkan di keluarga ini. Tiap-tiap langkah dan angan tetap demi ibu. Demi seyum ibu. Kian hari aku mulai sadar jika ibu kini tak lagi ada disisiku, jauh meninggalkan ku. Ibu tetap ada di hatiku.

              Statusku kini sempurna menjadi yatim piatu. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya tempat berbagi tangis maupun tawa. Aku tak lagi punya tempat seperti dulu. Tempat ketika ibu selalu ada di sisiku. Alhamdulillah. Kini aku punya tempat lagi untuk belabuh, tempat kedua setelah ibu, tempat yang mampu melindungiku dari terobang ambing dihantam angin. Mereka mengadopsikan aku menjadi anak mereka. Masih tetap kaku untuk memanggilnya ayah, tapi paling tidak aku disini aman, disini aku merasa aku semakin terlindung oleh hujaman hina orang-orang. Saat aku bersama ibu, tetanggaku bilang aku hanyalah beban buat ibu, terlahir dalam keadaan tidak sempurna juga menjadi musibah buat keluargaku, berlanjut dari kepergian ayah, hingga kami tinggal dalam gubuk derita. Aku selalu ingat itu.

“bu, kenapa aku terlahir seperti ini bu?”.
“karena kamu anak ibu”.
“berarti jika aku bukan anak ibu, aku pasti tidak seperti ini. Ya kan bu?”. Ibu menangis. Aku sangat menyesal mengatakan hal itu. Aku selalu ingat hal itu. Saat itu senja datang bersama grimis.

              Keluarga ustaz syarifuddin begitu perhatian denganku. Aku dapat merasakan itu. Aku ingin ketidak berdayaanku, tidak menjadi beban untuk keluarga ini. Tampak kasih sayang dari mata bu siti. Wajahnya penuh dengan keramahan, juga senyumnya yang selalu ada di bibirnya. Tidak ada perbedaan antara aku dan ana, anak semata wayang. Memang agak manja, tapi ana juga baik denganku. Dia rela berbagi kasih sayang dari orang tuanya denganku. Walau aku bukan siapa-siapanya, dia tetap baik denganku. Aku selalu melihat kebaikan dari hati ana. aku harus tidak banyak meminta dari keluarga itu. Aku terkadang iri dengan ana, ana punya ayah dan ibu yang baik dengannya, sangat menyayanginya. Semua sangat berbedan denganku. Ana cantik, dia juga pintar. Aku tidak punya ibu juga ayah, aku tidak punya keluarga lagi. Keluarga ini penuh dengan kasih sayang. Inilah salah satu alasan kenapa aku tidak memanggil ustaz syarifuddin dengan sebutan ayah, aku tidak ingin hadirnya aku di dalam keluarga ini membuat masalah.

              Terlebih lagi ana, mungkin ia suatu hari nanti pasti merasa tersaingi, keberadaanku di rumah ini. Mungkin ana merasa kasih sayang dari ayah dan ibu mereka berkurang, karena terpaksa berbagi dengan ku. Aku merasa tidak enak. Apalagi aku memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga. Itu bisa mengundang masalah besar. Lebih baik seperti biasa saja.

***

              Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Lagi-lagi aku melihat laki-laki itu ada di dalam. Hampir setiap waktu dia ada disana. Agak aneh, ucapku. Apa dia tidak punya keluarga, anak atau rumah. Laki-laki itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Pintu masjid itu tetap terbuka. Maghrib bertandang. Azan berkumandang. Bulan tampak senang, muncul meski belun bercahaya. Matahari menghilang di balik mega. senja datang. Mengingatkan aku akan detik-detik terakhir perpisahan dan kehilangan akan orang yang teramat aku sayang, Ibu. Saat aku harus kehilangan, saat aku harus belajar mengiklaskan, dan saat aku tetap bersabar.

              Sebatang kara, aku duduk dicelah senja. Menatap mata itu mata terakhir, kini aku tidak bisa melihat mata itu menangis lagi. Aku tidak punya ayah, dulu ibu sering bilang, ayah sekarang lagi di surga. Umurku waktu itu 10 tahun. Aku tidak tahu apa itu surga, tapi ibu selalu mengatakan jika surga tempat yang aman, menyenangkan dan penuh dengan keindahan, dan ianya khusus tempat orang-orang baik. Ibu selalu berpesan, jika aku harus selalu berbuat baik. Orang yang selalu tunduk pada tuhan. “mungkin seperti ayah”. Ucapku pada ibu. Ibu tersenyum. Aku percaya semua kata-kata ibu tentang ayah yang lagi di surga. Aku menerima keadaanku apa adanya, meski berbeda dengan anak-anak yang lain. Kini ibu tak lagi ada di sisiku. Tak lagi ada untuk melindungiku dari caci dan hina orang-orang. Ibu tetap mekar di hatiku. Tetap ada untuk selamanya. Selalu senyum dan selalu hadir dalam mimpiku. Aku yakin jika ibu sekarang juga sedang duduk di surga melihatku. Mungkin tidak bersama ayah, tapi bersama siapa, mungkin sendiri sepi.

“bu, jika ibu sepi di sana, tataplah aku disini bu, sebutlah namaku, karena aku akan selalu mengirim doa dan tersenyum untuk ibu”.

              Kami terpakasa pindah senja itu juga ke rumah ustaz syarifuddin. Ustaz yang amat baik dengan aku dan ibu. Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Laki-laki itu masih terlihat di sudut masjid menampung tangan, ada doa-doa yang tak dapat ku tangkap dengan telingaku. Hanya isak tangis sesekali memecahkan kesunyian. Aku masih ingat dengan kata-kata ustaz syarifuddin untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Aku teramat senang. Kini diriku sudah bersedia. Memanggil ustaz syarifuddin dengan sebuatan ayah. Ayah baruku. Ayah yang dititipkan Allah untuk melindungiku. Kian terasa ragaku telah bertemu dengan jiwaku. Aku merasa hidupku mekar lagi. Setelah kepergian ibu, kini aku di berikan malaikat baru untuk menjagaku. Seandainya ustaz yang ku panggil ayah itu memang tercipta untuk ku dari dulu dari aku masih kecil, pasti aku merasa amat bahagia.

“seandainya ayah kamu masih ada, apakah kamu bersedia menemuinya”.
“ibu bilang ayah di surga”
“jika itu suatu hadiah untukmu?
“pasti aku terima, karena kini akukan sudah punya ayah”.

              Pukul 17.00WIB. Ada tamu berkunjung di rumah ini. Laki-laki itu, laki-laki yang selalu ada di muka pintu, pintu masjid. Aku mendengarnya dari ruang tamu, ayah juga ada di sana, menyambutnya dengan ramah, suaranya terdengar jelas dari kamarku. Hanya percakapan saling bertanya kabar. Ruangan tamu masih dipenuhi dengan suara mereka. Bu siti juga ada diruangan itu. Sepertinya mereka sangat akrab, dari cara berbicaranya, cara bertanya dan tawa kecil dari canda mereka. Batinku penasaran akan sesosok laki-laki yang tak sempat ku lihat dari pintu masjid itu. Aku menatapnya dari jauh, dari pintu kamarku tampa sepengetahuan mereka. Wajah itu tampaknya tidak asing lagi oleh mataku, tapi dimana aku pernah bertemu dengan laki-laki itu. Aku sempat kebingungan memikirkan laki-laki itu.

              Usai makan malam. Semua berkumpul di ruangan tamu. Laki-laki itu masih bertamu di rumah kami. Aku merasa aneh dengan kunjuang laki-laki itu. Saat matanya melihat mataku. Seakan-akan ia ingin menyapaku. Tapi mulutnya kaku. Wajahnya sudah akrab dari penglihatanku. Sekali lagi aku kebingungan saat aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok laki-laki itu. Ada rasa ingin menghampiriku. Dari matanya juga aku melihat laki-laki itu lagi dilanda masalah. Wajahnya bergumpal beribu kesedihan, kesedihan yang di sembunyikan di balik mata itu.

“ baiklah, karena semua sudah berkumpul sekarang di ruangan ini”. Aku merasa ada sesuatu dari ucapan ayah.

“ayah”. Laki-laki itu melirikku.

“ya, ada apa?” tanyanya lembut padaku. Tampak kesenangan dari wajahnya. Akhirnya aku bisa melontarkan kata ayah dari mulutku. Itu keluar tampa sengaja. Bu siti tersenyum. Itu tanda, bu siti juga senang mendengar ucapanku tadi, memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Senyumnya masih tetap senyum yang dulu, senyum saat pertama kali dia mengajakku untuk tinggal dalam keluarganya. Ana juga tidak tampak ekspresi yang bertukar dari wajahnya, tidak ada tampak wajah suka. Juga tidak ada wajah dengan marah. Biasa-biasa saja. Semua mata tertuju padaku. Mata ayah. Mata bu siti dan mata laki-laki itu. Kecuali ana yang lagi asik dengan handphone barunya itu.

“apakah kamu ingat kata-kata ayah, sekiranya kamu di berikan ayah oleh Allah, apakah kamu menerimanya?”

“ya, pasti mau, bukankah aku sudah bertemu dengan ayah sekarang”.
“ayah?”
“ya ayah, ayah yang datang mengangkatkan aku dari lembah suram”.
“tapi di sini sudah ada ayah yang sebenarnya lho”
“ya ayah, siapa lagi, ayahkan ayahku, tidak mungkin dia ayahku”. Telunjukku dengan santun mengarahkan ke laki-laki itu. Ayah menganggukkan kepalanya.
“ya”. Aku kebingungan.
“bukan, aku tidak mengenal dia, ibu bilang ayahku lagi di surga mungkin sekarang lagi bersama ibu”. Bantahku
“tidak nak, ini ayahmu”. Potong laki-laki itu.
“bukan kamu bukan ayahku, ayahku di surga”.
“maaf kan ayah nak”. Hening. Yang ada hanya linangan air mata yang mengambang di mata laki-laki itu.
              Malam hening membisu. Grimis tetap berkunjung yang tersisa hanyalah angin senja yang menyelinap masuk ke kamarku. Mataku tak dapat menahan amarah yang bertahta dalam mataku. Air mata itu tumpah turun bersama dendam dan amarah. Ada gumpalan benci yang ingin ku lontarkan ke arah laki-laki itu. Aku hanya menggelengkan kepala, mengisyartkan setengah yakin. Jika laki-laki itu benar-benar adalah ayahku. Kiranya dia memang ayahku, biarlah malam ini yang menjawab. Kiranya malam ini menolaknya menjadi ayahku, aku juga ikut menolaknya, jika sebaliknya, mungkin aku butuh waktu lama untuk memulihkan luka lama bersama ibu. Aku berharap malam ini malam terakhir untuk ku melihatnya. Aku bukan membencinya, hanya saja aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku bukan dendam dengannya hanya saja aku tidak ingin luka itu datang lagi. Aku menangis. Kebahagian baru saja ku bina. Dengan susah payah. dengan linangan air mata, dengan perjuangan ibu. Hingga aku dapat menemui keluarga baru. Dengan seribu payah aku mengharung hidup dalam lautan hina dari orang-orang. Kiranya aku menerimanya sebagai ayahku, apakah dia dapat mengembalikan ibu. “tidakkan”.

              Kini harapku untuk memiliki ayah sudah di kabulkan. Tapi bukan dia, bukan dia ayahku, tapi ustaz syarifuddin. Aku tidak berharap punya ayah lagi, cukuplah aku punya satu ayah baru ku ini aku bukan membencinya, kiranya aku menerimanya pasti akan ada tangis ibu yang tumpah di atas sana. Aku bukan dendam dengannya, kiranya aku menerimanya, pasti luka lama itu hadir lagi dalam langkahku.

              Langkahnya perlahan-lahan menjauh dari pintu masjid itu. Hilang bersama malam. Entah pergi kemana laki-laki itu. Yang pasti dia tidak ada lagi di hadapanku. Aku bingung. Apakah aku harus menerimanya. Apakah ibu juga mau menerimanya. Aku berlari mengejarnya. Langkahnya terlalu cepat menghilang. Di pintu masjid, terakhir aku melihat dia sujud. Doanya tak lagi dapat ku dengar. Entah untuk berapa lama lagi. Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan Mungkin aku harus pergi sejauh mungkin, sejauh hingga aku tak dapat lagi melihat jejaknya. Ibu kini aku punya ayah baru. Biarlah mimpi menyatukan kita ibu.
/


By : Nurhaliza Zein/19 9a ^-^

Arti Persahabatan


ARTI PERSAHABATAN



Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah...

“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.

“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring.

            Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.

            Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.

“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal.

            Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.

Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah.
“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.

Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.

            Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.

“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini.

“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.”

            Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi.
“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu.

“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.

            Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).


By : Nurhaliza Zein/19-9a